Berkarya dalam Keterbatasan

Posting Komentar


Mampukah kita membayangkan jika ada seorang tentara pergi berperang tanpa pistol maupun senjata lainnya? Petani bekerja tanpa cangkul atau peralatan menanam lain, atau bahkan seorang programmer yang menyusun kode tanpa menggunakan komputer? Namun masih dapat menjalankan fungsinya dengan baik, bahkan hasil karyanya luar biasa hebat. 

Benar-benar tak terbayangkan sama sekali bagi cakmin, dan bisa jadi oleh sobat mikir sekalian. Namun pernah sekali ada seorang penulis mampu membuahkan karyanya tanpa pena dan kertas. 

Ditambah dalam penyusunannya penuh dengan keterbatasan. Hanya bisa mengandalkan ingatan tentang literatur yang pernah dibaca dan dipahaminya, karena dirinya berada dalam kondisi terpenjara. 

Bagi yang sudah memiliki gambaran siapa dia, boleh jadi anda benar. Dialah Pramoedia Ananta Toer, seorang penulis yang banyak menelurkan karya yang memperkaya Seni sastraT Indonesia. 

Tetralogi Buru

Tetralogi Buru, adalah karyanya yang berhasil tercipta dalam kondisi serba terbatas tersebut. Tanpa adanya alat tulis, penulis hanya menyampaikan secara lisan kepada teman senasib yang dipenjara dalam pengasingan di wilayah Buru. 

Dengan bantuan rekannya tersebut, baru dapat tertulis dengan rapi setelah bebas dari kondisi tersebut. Bayangkan, bisa menulis tanpa bisa membuat outline atau kerangka tulisan, bantuan referensi, bahkan penyuntingan.

Walaupun di dalam negeri sendiri bukunya dicekal oleh jaksa Agung dan tidak boleh beredar, karya lainnya banyak yang dibakar oleh Angkatan Darat masa itu, karena karya-karyanya dianggap golongan “Kiri” atau memuat paham PKI dan membahayakan negeri ini. Jauh di luar negeri sana karyanya diterjemahkan tak kurang dari empat puluh bahasa yang berbeda. 

Padahal jika mau objektif, karya yang berupa novel tersebut cakmin rasa hanya menggugah pembaca yang dikondisikan untuk menghayati pikiran tokoh utamanya, Minke dalam menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar yang melakukan praktik kedzoliman secara terang-terangan dan segala cara kepada dirinya secara pribadi, dan ternyata kedzoliman tersebut memang dirasakan seluruh masyarakat pribumi yang lemah. 

Dengan latar belakang konteks penulisan pemerintahan yang penuh dengan praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepoteisme) ditambah dengan Dwi fungsi ABRI (sebutan lampau angkatan darat masa itu). Membuat pemerintah bebas menjalankan praktik represif dalam mengendalikan rakyat, sesuai kepentingan pemerintahan kala itu. 

Walaupun cakmin baru menyelesaikan membaca dua buku awal yaitu Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, juga proses menyelesaikan membaca buku ketiga yaitu Jejak Langkah. 

Sangat terasa bahwa penulis dalam novel Tetralogi Buru, berusaha menggiring pembacanya yang merasa hidup damai sentosa, ternyata penuh dengan keburukan penguasa jika mau membuka mata cukup sedikit saja. Namun tak cukup hanya dengan semangat saja, dibutuhkan strategi yang cukup baik agar dapat keluar dari kondisi tersebut, salah satunya dengan berorganisasi. 

Ya, singkatnya pemerintah Order Baru atau lebih terkenal dengan era Soeharto, the smiling president sangat takut untuk dilengserkan bahkan hanya sebuah rangkaian kata dan dengan jahatnya melablei dengan tuduhan mengandung asas Komunis.

Pelajaran yang dapat diambil

Cakmin pernah diajari untuk menjadi Mata Air Pegunungan. Sebuah kalimat lain dari menjadi Rahmat bagi seluruh alam. Dari penulis Pramoedia Ananta Toer, cakmin mendapat bahwa berusaha menebar manfaat bisa jadi sangat sulit, sangat berat, bahkan perlu untaian darah dan air mata. 

Boleh jadi hasil karya kita tidak akan sebesar dan semegah beliau atau orang yang kita idolakan. Namun, kita bisa mengambil semangatnya, kesungguhannya yang mampu melawan segala tekanan dan keterbatasan. Apapun yang dimiliki, dapat memberi manfaat bagi masyarakat luas sekecil apapun itu.

Related Posts

There is no other posts in this category.

Posting Komentar